Selasa, 28 April 2009

Prayetno Si Kusir Pariwisata

Lamunan Prayetno terlihat kosong di tengah – tengah keramaian Malioboro. Sudah hamper 15 tahun mengais rezeki demi sesuap nasi untuk kelangsungan hidup keluarganya. Kini Prayetno boleh berbangga hati. Sebagai seorang Pelestari budaya Yogyakarta, hidupnya lebih bahagia.

Keringat diwajah pucat Prayetno bercucur hangat selesai menarik andong cantiknya keliling seputar Malioboro. Senyum tipisnya mengembang kala penumpang memberi tiga lembar uang sepuluh ribuan. Bapak dua orang anak ini mulai merapatkan andongnya menunggu penumpang berikutnya. Teriknya siang Malioboro tidak menyurutkan niat Prayetno untuk mencari nafkah. Dia terus berharap kepada setiap orang yang lalu lalang di sepanjang Malioboro untuk memakai jasanya. Di tengah lamunannya kadang teringat cerita masa lalu Prayetno saat ia tidak memiliki pekerjaan. Hidupnya begitu sulit. Hatinya terkadang teriris perih ketika Eka, sang anak bungsu meminta uang jajan kepadanya. Padahal untuk makan sehari – hari keluarganya pun bisa dibilang tidak berkecukupan.
Lambat laun bapak berbadan tegap ini mulai tergerak hatinya untuk mencari pekerjaan apapun demi menyambung hidupnya beserta keluarganya. Mulai dari pekerja serabutan di pasar, hingga kuli bangunan pun ia lakoni demi mengebulnya dapur di rumah. Hanya berbekal tenaga, karena dirinya hanya lulusan sekolah dasar, setiap pekerjaan yang menghasilkan, ia kerjakan. Mencoba menjadi seorang pengayuh becak selama 6 tahun ia lakoni juga. Namun selama itu, hidupnya pun masih dirasa kurang. Penghasilan yang tidak menentu dan harga sewa becak yang cukup mahal baginya dirasa tidak dapat menutupi kebutuhan sehari hari. Namun apa daya, hanya pekerjaan ini yang ia bisa lakoni untuk kebutuhan keluarganya.
Hingga pada suatu hari, Prayetno bertemu dengan kawan lamanya yang sudah sukses di bidang transportasi andong. Ia pun ditawari untuk bekerja padanya. Kini beralihlah Prayetno mencoba mengubah hidupnya menjadi seorang kusir kuda. Awalnya prayetno dibekali satu ekor kuda, dan satu andong. Dirawatnya kuda tersebut dengan baik. Andongpun dipercantik olehnya. Pada saat itu dia belum ditawari masuk kedalam perkumpulan para kusir andong se Yogyakarta. Namun berkat keramahan dan sesupelan Prayetno dalam berkawan ia pun ditawari masuk kedalam perkumpulan tersebut. Perkumpulan Alun – alun A, begitu mereka menamakannya. Beranggotakan sekitar 50 kusir andong sepanjang Malioboro. Arisan, serta kumpul – kumpul rutin mereka adakan demi terjaganya kekompakan perkumpulan Alun – alun A. Koperasi simpan pinjam membuat hidup Prayetno menjadi lebih baik. Suatu ketika pemerintah daerah Yogyakarta memberikan pelatihan bahasa asing untuk para kusir andong. Prayetno pun memanfaatkannya dengan baik. Pendidikan yang rendah tidak membuat Prayetno minder untuk belajar banyak demi kelancaran pekerjaannya. Mulanya ia hanya mengambil penumpang domestic saja. Kini penumpang wisatawan mancanegara pun ia berani mengambilnya. Pelatihan yang diberikan dirasa sangat bermanfaat baginya. Pendapatan yang ia dapat bisa sedikit lebih dari penumpan wisatawan mancanegara.
Untuk sekali keliling Malioboro pada hari bisa, Pryetno mematok harga 30ribu rupiah. Sedangkan untuk hari libur atau hari besar bisa mencapai 50ribu rupiah bahkan lebih. Setiap harinya bapak berkulit gelap ini berangkat dari rumahnya yang berada di jalan Imogiri km.45 lingkar selatan Ringroad, pada pukul 08.00 WIB. Dan pulang pukul 16.00 WIB. Rute yang biasa digunakan Prayetno untuk mengantar keliling penumpangnya adalah sekitar Malioboro, melewati keraton, ngasem, PKU, pasar kembang, kemudian kembali lagi ke Malioboro. Untuk mengantar penumpang keliling Malioboro Prayetno juga sering memberitahu tempat – tempat bersejarah di Yogyakarta kepada penumpangnya. Waktu yang ditempuh selama berkeliling kurang lebih satu jam.
Penghasilan yang didapat Prayetno jauh lebih lumayan ketimbang nasib pekerjaannya yang dahulu. Kini berkat ketelatenannya, Prayetno sudah memiliki dua ekor kuda dewasa, satu ekor anak kuda, dan dua andong. Untuk perawatan kudanya setiap harinya Prayetno mengeluarkan uang sekitar Rp.20.000 per kudanya. Mulai dari makan, mandi, kesehatan dan kebersihan kuda ia yang menanggung sendiri. Untuk mempercantik andongnya, Prayetno tidak tanggung – tanggung dalam membelikan aksesoris. Lampu, kaca spion, cat, hingga karpet andong pun ia perhatikan untuk mempercantik tampilan andongnya. Baginya andong yang cantik akan lebih mudah menarik penumpang daripada andong yang biasa saja.
Menurunnya tingkat pariwisata mancanegara akibat bom Bali beberapa tahun silam sempat mengancam penghasilan para kusir andong. Kebergantungan mereka terhadap wisatawan asing kini mulai surut. Sepinya langganan membuat Prayetno putus asa. Namun beruntungnya para kusir andong se Yogyakarta. Sponsor yang diberikan oleh beberapa perusahaan membuat pencerahan bagi pekerjaan mereka. Mereka di berikan pelatihan kursus bahasa asing untuk meningkatkan kualitas mereka. Dan merekapun diberikan uang pesangon sebesar Rp.600.000 setiap tahun untuk merawat kuda beserta andong mereka. Prayetno salah satu kusir kuda yang mendapat sponsor dalam pekerjaannya. Pegadaian memberikan bantuan uang dan membantu mempercantik kuda andong Prayetno.
Tampilannya yang menarik kini membuat Prayetno semangat dalam melakukan pekerjaannya. Penghasilannya pun bertambah. Pemerintah memberikan pelatihan dan wawasan wisata Yogyakarta untuk para kusir kuda. Tujuan utamanya untuk melestarikan kebudayaan Yogyakarta. Kini Prayetno boleh berbangga hati. Sebagai seorang Pelestari budaya Yogyakarta, hidupnya lebih bahagia.(lisa novita-153070110)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar